PERKEMBANGAN KOLONIALISME DI INDONESIA
Revolusi Industri yang memberikan pengaruh terhadap perekonomian,
khususnya di kawasan Eropa telah mendorong negaranegara Barat untuk
melakukan penjelajahan samudera. Penjelajahan ini bertujuan untuk
mencari daerah yang akan dijadikan jajahan. Di daerah-daerah yang telah
berhasil dikuasai, para penjelajah melakukan eksploitasi besarbesaran
terhadap sumber daya alam dan memasarkan hasil industri dari negaranya.
Pada awal kedatangannya, para penjelajah yang menemukan daerah baru dan
mendarat di suatu tempat, memperkenalkan dirinya sebagai pedagang.
Mereka melakukan interaksi perdagangan dengan penduduk pribumi, bahkan
di antara mereka ada pula yang mendirikan pemukiman (koloni). Pada
perkembangan selanjutnya, tanpa disadari oleh penduduk pribumi daerah
itu oleh mereka dianggap sebagai daerah miliknya. Dengan leluasa mereka
mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan yang ada di daerah baru itu.
Dalam sistem politik, pendudukan, dan penguasaan suatu daerah oleh
Negara lain disebut penjajahan atau istilah populernya disebut
kolonialisme.
Proses kolonialisme yang selalu dihubungkan dengan imperialisme yang
terjadi di beberapa kawasan, seperti di Asia, Afrika, dan Amerika
dipelopori oleh Inggris, kemudian disusul oleh Portugis dan Spanyol,
Belanda, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut mengirimkan para
penjelajahnya untuk mengarungi samudera dan mencari jalan menuju ke
Dunia Timur yang terkenal itu. Dalam penjelajahan tersebut Portugis
mengirimkan para penjelajahnya, yaitu sebagai berikut.
1. Bartholomeus Diaz (1487-1488) yang diutus raja Portugis untuk
mengatur perjalanannya ke Afrika Barat. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa sampai abad ke-15 para pelaut Portugis hanya mampu
mendarat di Pantai Emas saja. Dengan perjalanan inilah, Bartholomeus Dia
akhirnya berhasil sampai ke ujung selatan Afrika yang disebut Tanjung
Pengharapan (Cape of Good Hope).
2. Vasco da Gama (1497-1498) yang diutus raja Portugis yang bernama
Manuel I, karena merasa penasaran atas hasil penjelajahan yang dilakukan
oleh Columbus. Perjalanan Vasco da Gama ini bertolak dari Lisabon
menuju Kepulauan Tanjung Varde dan akhirnya tiba di Tanjung Harapan Baik
tahun 1497. Pada tahun 1498, Vasco da Gama beserta rombongannya
berhasil berlabuh di Kalikut, pantai Malabar India yang pada masa itu
terkenal sebagai kota dagang.
3. Alfonso d’Albuquerque (1510-1515). Ia berhasil menaklukkan Goa di
pantai barat India pada tahun 1510 dan Malaka (1511). Dari Malaka ia
meneruskan penguasaan atas Myanmar. Dari Myanmar inilah ia menjalin
hubungan dagang dengan Maluku.
Dipihak lain, Spanyol pun tidak mau ketinggalan untuk melakukan
penjelajahan samudera ke Dunia Timur yang terkenal dengan sumber
rempahrempah. Sama halnya dengan Portugis, Spanyol segera mengirimkan
para penjelajahnya seperti:
1. Ferdinand Magelhaens (1480-1521). Magelhaens yang dibantu oleh kapten
Juan Sebastian del Cano dan Pigafetta mulai berlayar ke arah Barat-daya
dengan mengikuti rute Christopher Columbus (orang Italia Ya ng
mengabdikan dirinya pada Raja Spanyol dan berhasil sampai ke benua
Amerika yang diyakininya sebagai India) dengan melintasi Samudera
Atlantik terus ke ujung selatan Amerika dan sampailah di Kepulauan
Filipina pada tahun 1521. Di Filipina (Pulau Cebu), Magelhaens tewas
terbunuh oleh suku Mactan.
2. Juan Sebastian del Cano. Pada tahun 1522 ia sampai di Maluku, tetapi
kedatangan mereka itu telah menimbulkan pertentangan antara Spanyol dan
Portugis yang kedua-keduanya saling menuduh telah melanggar Perjanjian
Tordesillas, yaitu perjanjian antara bangsa Portugis dan Spanyol yang
mengakhiri peperangan selama puluhan tahun antara kedua negara yang
bertikai di Eropa untuk memperebutkan daerah jajahan. Perjanjian ini
diprakarsai oleh Paus Paulus yang membagi rute pelayaran Spanyol ke
timur dan Portugis ke arah barat). Pertentangan di antara mereka
berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Saragosa (1534) di
Indonesia. Dalam perjanjian itu diputuskan bahwa wilayah Portugis tetap
di Maluku, dan Filipina juga daerah Portugis. Tetapi disebabkan Spanyol
merasa berhak atas kepulauan itu maka Spanyol berkuasa di Filipina.
1. VOC (Belanda)
Dengan adanya keberhasilan yang diraih oleh para penjelajah Portugis dan
Spanyol maka negara-negara Eropa lainnya mencoba untuk datang ke Dunia
Timur, khususnya Indonesia. Pada kurun waktu berikutnya, Belanda mulai
mengadakan penjelajahan samudera. Hal ini didorong oleh ditutupnya
Lisabon oleh Spanyol bagi kapal-kapal Belanda. Sebagaimana kita ketahui
bahwa sebelum kejadian itu, Belanda sudah terbiasa berhubungan dagang
dengan Portugis lewat Lisabon dan dari Lisabon barang-barang disalurkan
oleh Belanda ke negeri-negeri Eropa lainnya. Karena selama perang 80
tahun antara Belanda dengan Spanyol maka Belanda tidak dapat lagi
membeli rempahrempah di Lisabon yang sudah dikuasai Spanyol. Dengan
demikian, situasi tersebut telah menyebabkan Belanda berusaha untuk
datang sendiri ke kepulauan rempah-rempah, yaitu Indonesia. Dengan
dibantu oleh para awak kapal yang pernah bekerja pada kapalkapal
Portugis, tahun 1596 Belanda mengirimkan empat buah kapal di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman dan kemudian berhasil mendarat di Banten.
Pelayaran de Houtman dapat dikatakan mengalami kegagalan karena kembali
ke negaranya tanpa membawa barang dagangan atau rempah-rempah. Pada
pelayaran Belanda yang kedua dipimpin Jacob van Neck dan berhasil
mendapatkan rempah-rempah, khususnya lada. Dari Banten, kemudian Belanda
melanjutkan perjalanan ke Tuban dan Maluku. Di Maluku, Belanda berhasil
membawa rempah-rempah untuk dibawa pulang ke negerinya. Dengan
keberhasilan tersebut, sehingga Kepulauan Nusantara banyak didatangi
oleh para pedagang Belanda.
Di Indonesia, para pedagang Belanda dihadapkan pada persaingan dengan
para pedagang, baik dari negara Eropa lainnya maupun dengan para
pedagang Belanda itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menghindari
persaingan di antara para pedagang Belanda, pada tahun 1602 pemerintah
Belanda segera membentuk persekutuan atau kongsi dagang yang diberi nama
Vereenigde Oost Indie Compagnie (VOC). Oleh Pemerintah Belanda, VOC
diberi hak monopoli perdagangan dan hak-hak istimewa (Hak octrooi ). Hak
tersebut, antara lain:
a. hak monopoli perdagangan;
b. hak untuk mencetak dan mengedarkan uang sendiri;
c. hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di
daerah yang dikuasai;
d. hak mengadakan pemerintahan sendiri ;
e. hak mengumumkan perang dengan negara lain;
f. hak menjalankan kekuasaan kehakiman;
g. hak melakukan pungutan pajak;
h. hak memiliki angkatan perang sendiri;
i. menjadi wakil pemerintah Belanda di Asia.
Melalui hal-hak istimewa yang dimilikinya, VOC melakukan penguasaan dan
eksploitasi terhadap sumber daya alam di kepulauan Indonesia. Untuk
mendapatkan barang-barang dagangan, VOC berusaha merebut dan menaklukkan
penguasa-penguasa setempat. Mataram, Banten, dan Makassar segera
dikuasai, selanjutnya diberi beban untuk membayar pajak atau upeti dalam
jumlah yang telah ditentukan oleh VOC. Dengan cara demikian, VOC dapat
memperoleh barang dagangan yang harganya murah dan menguntungkan. Dari
gambaran tersebut, jelaslah bahwa VOC sebenarnya telah membuktikan bahwa
dirinya telah melaksanakan sistem penjajahan, yaitu imperialisme
perdagangan secara terselubung. Dalam imperialisme perdagangan tersebut,
dengan mudah mereka merampas dan menguasai perdagangan secara monopoli.
Di Indonesia VOC telah mencapai kejayaan dan kesuksesan. Keuntungan yang
besar dan barang dagangan yang melimpah diperoleh dari setiap daerah
yang telah berhasil ditaklukkannya. Akan tetapi, memasuki akhir abad ke-
18 kejayaan dan kesuksesan yang diraih oleh VOC tersebut dihadapkan
pada berbagai kendala dan permasalahan yang cukup rumit. Kendala atau
permasalahan yang dialami VOC, terutama yang berhubungan dengan masalah
kesulitan keuangan yang pada akhirnya membawa kongsi dagang ini pada
kebangkrutan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan VOC mengalami kebangkrutan, di
antaranya sebagai berikut.
a. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Barang-barang yang
diperoleh VOC dari daerah-daerah dan penguasa yang ditaklukkannya,
banyak yang langsung dijual atau diperdagangkan kepada para pedagang
asing dan keuntungannya pun masuk ke saku pribadi. Oleh karena itu,
kongsi dagang tersebut mengalami kerugian yang terus-menerus;
b. Di Indonesia, VOC memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas,
sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya dan pengawasan yang
sangat besar dan ketat;
c. VOC semakin lemah dalam keuangan karena banyak dikeluarkan untuk
biaya perang. Untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan
tersebut, VOC segera meminta bantuan berupa pinjaman uang kepada
pemerintah Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, VOC tidak memiliki pemasukan, sehingga
utang VOC kepada pemerintah Belanda semakin menumpuk dan tidak mungkin
sanggup untuk membayarnya. Setelah melihat ketidakberesan dalam tubuh
kongsi dagang tersebut, Pemerintah Republik Bataaf segera memberikan
keputusan untuk membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799.
3. Prancis
Sesudah VOC dibubarkan, pemerintahan di Nusantara langsung berada di
bawah pemerintahan Belanda. Namun semenjak tahun 1806, ketika Raja Louis
Napoleon diangkat menjadi raja Belanda, sehingga Indonesia secara tidak
langsung telah berada di bawah kekuasaan Prancis. Di Eropa, musuh
bebuyutan Prancis adalah Inggris. Prancis di bawah Napoleon Bonaparte
masih belum mampu menaklukkan Inggris. Untuk itu, kehadiran Inggris di
Asia Tenggara telah mengancam kedudukan Belanda di Indonesia yang telah
menjadi daerah kekuasaan Prancis. Dalam menghadapi masalah dengan
Inggris, pada tahun 1808, Louis Napoleon menunjuk Herman Willem Daendels
menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas utama Daendels adalah
mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris. Untuk
keperluan itu, Daendels membangun jalan raya (Grote Postweg) dari Anyer
sampai Panarukan yang panjangnya 1.100 km. Dengan jalan tersebut,
pasukan Belanda akan dapat bergerak cepat. Dalam pembangunan jalan
tersebut, pemerintahan Hindia-Belanda di bawah komando Daendels
menggunakan tenaga kerja dari bangsa Indonesia yang dikerahkan lewat
para penguasa pribumi. Dikatakan tidak kurang 1000 orang pekerja perhari
harus disediakan para bupati di setiap daerah untuk dipekerjakan
sebagai tenaga rodi untuk menyukseskan pelaksanaan pembangunan jalan
tersebut. Selain membangun jalan raya, Daendels juga mendirikan pabrik
senjata dan mesiu, serta membangun pangkalan angkatan laut di Ujung
Kulon.
Di bidang pemerintahan, Daendels mengubah sistem pemerintahan
tradisional dengan sistem pemerintahan Eropa. Dalam pelaksanaannya,
pulau Jawa dibagi menjadi sembilan wilayah yang disebut perfektur.
Setiap perfektur dikepalai oleh seorang residen, dan setiap residen
membawahi beberapa bupati. Para bupati diberi gaji tetap dan tidak
diperkenankan meminta upeti kepada rakyat. Dengan diterapkan sistem
pemerintahan yang seperti itu maka wibawa para bupati menjadi merosot di
mata rakyat. Sementara itu, kekuasaan raja masih diakui, tetapi tetap
harus tunduk terhadap semua peraturan yang dibuat pemerintah
Hindia-Belanda.
Sistem pemerintahan Daendels diterapkan sangat keras dan disiplin, serta
cenderung bertangan besi. Hal ini menyebabkan Daendels tidak disukai
oleh berbagai pihak, baik oleh aparat pemerintah yang membantunya maupun
oleh penguasa dan rakyat pribumi. Hubungan antara pribumi dengan
Daendels menjadi buruk. Rencana perlawanan yang menentang pemerintahan
Daendels di berbagai daerah mulai bermunculan. Untuk mempertahankan
kedudukannya, Daendels membutuhkan banyak uang. Dengan sikap berani,
Daendels menjual tanah negara kepada pihak swasta asing. Dalam transaksi
jual beli tersebut disepakati bahwa selain menguasai tanah, si pembeli
juga menguasai penduduk yang tinggal di tanah tersebut. Perilaku
Daendels yang demikian itu telah menyebabkan ia dipanggil dan kemudian
kedudukannya di Indonesia digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens.
Dalam menjalankan tugasnya, Janssens ternyata kurang cakap dan lemah.
Hal itu terbukti, dengan adanya Perjanjian Tuntang, yang isinya bahwa
kekuasaan Belanda atas Indonesia diserahkan oleh Janssens kepada
Inggris.
4. Inggris
Sebelum Perjanjian Tuntang (1811), sebenarnya Inggris telah datang ke
Indonesia. Perhatian atas Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F. Drake
singgah di Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya, ekspedisi lainnya
dikirimkan pada akhir abad ke-16 melalui kongsi dagang yang diberi nama
East Indies Company (EIC). EIC ini mengemban misi untuk mengadakan
hubungan dagang dengan Indonesia. Pada tahun 1602, armada Inggris sampai
di Banten dan berhasil mendirikan loji di sana. Pada tahun 1604,
Inggris mengadakan perdagangan dengan Ambon dan Banda, tahun 1609
mendirikan pos di Sukadana (Kalimantan), tahun 1613 berdagang dengan
Makassar, dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia. Dalam usaha
perdagangan itu, Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda. Belanda
tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir Inggris dari
Indonesia. Setelah terjadi peristiwa Ambon Massacre, EIC mengundurkan
diri dari Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di
Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei sampai memperoleh
kesuksesan. Inggris kembali berkuasa di Indonesia melalui
keberhasilannya memenangkan perjanjian Tuntang pada tahun 1811. Selama
lima tahun (1811-1816), Inggris memegang pemerintahan dan kekuasaannya
di Indonesia. Indonesia mulai tahun 1811 berada di bawah kekuasaan
Inggris. Inggris menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Letnan
Gubernur Jenderal di Indonesia.
Beberapa kebijakan Raffles yang dilakukan di Indonesia antara lain
sebagai berikut.
a. Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus dihapuskan;
b. Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan tanaman yang di tanam;
c. Tanah merupakan milik pemerintah dan petani hanya dianggap sebagai
penggarap tanah tersebut;
d. Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintahan.
Akibat dari kebijakan di atas, maka penggarap tanah harus membayar pajak
kepada pemerintah sebagai ganti uang sewa. Sistem tersebut disebut
Landrent atau sewa tanah. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara
lain sebagai berikut.
a. Petani harus menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah
tersebut;
b. Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah;
c. Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai;
d. Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di pulau Jawa,
kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan Parahyangan. Hal itu
disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik pihak
swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib
tanaman kopi yang memberikan keuntungan besar kepada pemerintah. Selama
sistem tersebut dijalankan, kekuasaan bupati sebagai pejabat tradisional
semakin tersisihkan karena tergantikan oleh para pejabat berbangsa
Eropa yang semakin banyak berdatangan. Raffles berkuasa dalam waktu yang
cukup singkat. Sebab sejak tahun 1816 kerajaan Belanda kembali berkuasa
di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 1813 terjadi Perang
Lipzig antara Inggris melawan Prancis. Perang itu dimenangkan oleh
Inggris dan kekaisaran Napoleon di Prancis jatuh tahun 1814. Kekalahan
Prancis itu membawa dampak pada pemerintahan di negeri Belanda yaitu
dengan berakhirnya pemerintahan Louis Napoleon di negeri Belanda. Pada
tahun itu juga terjadi perundingan perdamaian antara Inggris dan
Belanda. Perundingan itu menghasilkan Konvensi London atau Perjanjian
London (1814), yang isinya antara lain menyepakati bahwa semua daerah di
Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh
Inggris kepada Belanda, kecuali daerah Bangka, Belitung, dan Bengkulu
yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin. Penyerahan daerah
kekuasaan di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816.
Dengan demikian, mulai tahun 1816, Pemerintah Hindia-Belanda dapat
kembali berkuasa di Indonesia.
4. Pemerintahan Hindia Belanda
Pemerintahan Hindia-Belanda mengisi kekuasaannya dengan menjalankan
berbagai kebijakan yang pada dasarnya meneruskan kebijakan yang telah
diterapkan Raffles dalam kurun waktu sebelumnya. Selama periode antara
tahun 1816 dan 1830, Pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada timbulnya
berbagai peperangan di beberapa daerah, seperti Perang Padri dan Perang
Jawa. Peperangan tersebut merupakan peperangan yang besar dan memakan
biaya yang banyak. Bahkan, menyebabkan Pemerintah Hindia-Belanda
mengalami kesulitan keuangan. Hasil sewa tanah yang selama ini
dijalankan tidak dapat menutupi kondisi keuangan yang ada. Oleh karena
itu, Pemerintah Hindia- Belanda di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch
segera memberlakukan sistem baru yang disebut sistem tanam paksa
(Cultuur Stelsel). Ciri utama sistem tanam paksa ini adalah keharusan
bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian
(innatura), khususnya kopi, tebu, dan nila. Hasil pajak tersebut
selanjutnya dikirim ke negeri Belanda. Adapun ketentuan-ketentuan pokok
dalam pelaksanaan sistem tanam paksa (Cultur stelsel) adalah sebagai
berikut.
a. Sebagian tanah penduduk harus ditanami oleh tanaman-tanaman yang
dapat dijual di pasaran Eropa;
b. Tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah yang dimiliki oleh penduduk desa;
c. Untuk menanam tanaman yang diwajibkan Pemerintah Hindia-Belanda
tersebut, waktunya tidak boleh melebihi waktu menanam padi;
d. Bagian tanah yang digunakan untuk menanam tanaman dagangan tersebut
dibebaskan dari pajak;
e. Kegagalan panen yang tidak disebabkan karena kesalahan petani maka
kerugian ditanggung pemerintah kolonial;
f. Apabila hasil panen melebihi dari pajak tanah yang harus dibayar maka
selisihnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial;
g. Dalam pelaksanaannya, penduduk berada di bawah pengawasan kepala desa
atau bupati.
Apabila dilihat dari butir-butir aturannya, maka sistem tanam paksa
tidaklah merugikan rakyat Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya sangat
jauh menyimpang dari ketentuan pokok. Rakyat diperas habis-habisan, baik
sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Kondisi demikian
berhubungan erat dengan adanya peranan para bupati dan kepala desa yang
tidak segansegan melakukan tindakan pemerasan di luar aturan sistem
tanam paksa. Di satu sisi, bagi pemerintah yang sedang berkuasa,
pelaksanaan sistem tanam paksa ini telah mendatangkan keuntungan yang
besar. Hal ini terbukti bahwa antara tahun 1832-1867 saldo atau
keuntungan yang diperoleh mencapai angka sekitar 967 juta gulden (suatu
jumlah sangat besar pada waktu itu). Di sisi lain, bagi Indonesia sistem
tanam paksa telah menimbulkan berbagai penderitaan dan kesengsaraan.
Perbedaan yang tidak seimbang antara penduduk pribumi dengan colonial
dari pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak, terutama reaksi dari golongan humanis yang menjunjung
asas-asas kemanusiaan. Golongan humanis, seperti Douwes Dekker atau
Multatuli dan Baron van Hoevel menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap
kebijakan pemerintah melalui tulisan. Max Havelaar yang ditulis oleh
Douwes Dekker merupakan kecaman terhadap Pemerintah Hindia-Belanda atas
penderitaan yang dialami oleh penduduk di Jawa akibat pelaksanaan sistem
tanam paksa. Tulisan lainnya berupa sebuah pamflet yang berjudul Suiker
Contracten (kontrakkontrak gula) yang ditulis oleh seorang pemilik
perkebunan yang bernama Frans Van de Putte. Kedua tulisan tersebut
kemudian dimanfaatkan oleh kaum liberal untuk mendesak Pemerintah
Hindia-Belanda dalam mencapai kepentingannya, yakni kesempatan penanaman
modal sebesar-besarnya di Indonesia.
Desakan parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus system tanam
paksa merupakan awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang
dijalankan kaum liberal dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi
Indonesia. Sejak saat itu, modal swasta asing diberikan peluang untuk
mewarnai berbagai bidang usaha, terutama pada perkebunan-perkebunan
besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pembukaan perkebunan-perkebunan
yang didominasi modal asing, seperti Belanda dan negara-negara Eropa
lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-Undang
Gula pada tahun 1870. Tujuan dikeluarkan undang-undang tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan terhadap para petani Indonesia agar tidak
kehilangan hak milik mereka atas tanah. Namun, di pihak lain,
Undang-Undang Agraria ini justru semakin memberi kesempatan yang besar
bagi pihak swasta asing menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam
realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk
pribumi menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk
pribumi hanya menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan
dan tidak memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya.
Kondisi yang tidak seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian
dari beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes
Dekker, dan van Deventer.
Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan kepada pemerintah
Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia. Dalam
pandangan tokoh-tokoh tersebut, bangsa Belanda tidak sedikit pun
memperbaiki bangsa Indonesia, padahal mereka merupakan bangsa yang
banyak berjasa. Semua kegiatan bangsa Indonesia selama pendudukan
Belanda pada dasarnya adalah untuk pemenuhan kesejahteraan bangsa
Belanda, terutama dalam meningkatkan hasil-hasil perkebunan untuk
keperluan barang dagangan dan pemenuhan kebutuhan perang. Oleh karena
itu, sudah sepantasnyalah Pemerintah Hindia-Belanda untuk memperhatikan
nasib dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Akhirnya, melalui usulan dan
kritikan tersebut muncullah Etische Politik atau Politik Etis yang
diprakarsai oleh Theodore Condradt Van Deventer. Politik Etis merupakan
sikap balas budi Pemerintah Hindia-Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Adapun sasaran dari Politik Etis ini meliputi irigasi, emigrasi, dan
edukasi. Pada awalnya, Politik Etis direncanakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat di Hindia-Belanda. Namun demikian, politik tersebut
ternyata hanya untuk kepentingan kolonial semata. Misalnya, irigasi
untuk pengairan perkebunan milik Belanda bukan untuk pribumi, edukasi
untuk mencetak tenaga murah dalam rangka memenuhi tenaga kerja di
perkebunan milik Belanda, dan emigrasi hanya untuk menutupi kekurangan
tenaga kerja di perkebunan milik Belanda. Melihat hal tersebut, bangsa
Belanda sendirilah yang menikmati hasil dari politik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar